Menafsir Ratapan Terakhir Sang
Manguni
Oleh: Riane Elean
Berfantasi
tentang sebuah Negara dunia tunggal, dengan sistem pemerintahan on-line dan operator-operator dunia cyber sebagai
aparaturnya ternyata cukup menggelikan.
Segala Informasi dunia tersaji dalam format digital, bisa diakses
secepat kilat ke segala penjuru; Negara dunia dengan e-money sebagai mata uang
tunggal yang bebas fluktuasi; Negara dunia bersekuritas tinggi dengan
AntiVirus, AntiSpyware dan AntiSpam sebagai agen urusan pertahanan-keamanan;
Negara dunia yang kalau rapat atau diskusi tidak lagi di kantor atau aula,
dengan personal gadget mungil multi fungsi dalam genggaman, di manapun,
kapanpun, tak masalah; Negara dunia dengan katalog on-line yang atraktif,
berharga flat, rupa-rupa bonus, plus delivery order, belanja bisa langsung dari
tempat tidur; Negara dunia dengan vector dan matriks sebagai bahasa pengantar;
Negara dunia dengan ruang dan waktu nisbi.
Negara dunia yang tak lagi menyinggung agama dan budaya lokal dalam tiap diskusinya; Negara dunia dengan
batas antara yang nyata dan maya tak lagi jelas, yang sering keliru menafsir
mana manusia, mana yang bukan; Negara dunia serba futuristik namun masih
menganut hukum rimba. Negara dunia yang minim mobilitas namun kaya C02 dan
sampah satelit. Negara dunia super konsumtif, dengan kadar individualitas
tingkat tinggi, yang interaksi sosialnya miskin kualitas; Negara dunia tanpa
presiden dan DPR, dengan orang-orang aneh yang sibuk menatap telapak tangannya
sendiri; Sebuah Negara dunia yang bukan mustahil ketika inovasi
teknologi-informasi tumbuh pesat dan terkonvergen.
Bayangan
sebuah Negara dunia di atas sukses membuat saya terbahak sekaligus bergidik,
nyaris bersamaan dengan kesibukan saya mengira-ngira rupa Minahasa dalam
fantasi futuristik itu. Bias modernisasi/ globalisasi memang banyak disanjung
namun sekaligus dikuatirkan. Hegemoni global dan dominasi kultur barat adalah
salah satu sumber kekuatiran itu. Seperti halnya ketika Hannerz (antropolog)
melukiskan kemungkinan penyatuan kultur di masa datang, saat di mana kultur
barat akan mendominasi seluruh dunia. Dunia akan menjadi jiplakan gaya hidup,
pola konsumsi, nilai dan norma, serta gagasan dan keyakinan masyarakat barat.
Apakah
Minahasa akan pasrah dan tenggelam dalam pusaran homogeni dan hegemoni itu?
Akankah suatu saat kelak sebuah bangsa yang bernama “Minahasa”, dengan segala
totalitasnya hanya akan tinggal fosil dari sebuah peradaban? Kalaupun
kekuatiran itu ada, dengan apa ia tepat dibahasakan: “Minahasa dibunuh” atau
“Minahasa bunuh diri” ? sebelum pertanyaan-pertanyaan ini terjawab, mari kita
bernostalgia dulu.
Minahasa
yang kontemporer dengan segala totalitasnya sering dideskripsikan orang dalam
beragam versi. Dari versi eklektik nan santun sampai versi vulgar dan
blak-blakan. Mulai dari misteri asal-usul genealogi yang belum sempat tersibak,
kisah pertarungan triangulasi ksatria-pengkhianat-penjajah di balik epos,
maupun fenomena perubahan sosial yang berjalan progresif walau tak kebal
regresi. Ditambah potongan cerita “dibuang sayang" seputar elegi
kemiskinan, bunga rampai intimidasi dan diskriminasi, intrik di balik
pergulatan merebut kuasa, degradasi nilai hidup, sampai kualitas ekosistem yang
makin tereduksi. Itulah Minahasa, grafik hidupnya turun-naik, gambaran bahwa
Minahasa bukanlah bangsa super dengan sepak terjang yang tak pernah salah;
Itulah Minahasa, bangsa yang semua dinamikanya pantas diceritakan apa adanya
sebagai pelajaran tiap generasi. Sebagai kejujuran sebuah sejarah nan utuh,
yang tak pantas disensor apalagi dilarang terbit.
Pengungkapan
hidup leluhur bangsa di bibir pasifik ini tidak pernah lepas dari sebuah ikatan
dengan Kuasa Tertinggi: Opo’ Wana Natas/ Opo’ Wailan/ Opo’ Wailan Wangko/ Opo’
Renga-rengan/ Empung Wailan/ Empung Renga-rengan (atau apapun Dia disapa)-
dengan para leluhur, dengan komunitas keluarga, dengan masyarakat luas, juga alam
sekitar, sebagai suatu kesatuan dalam keseluruhan, suatu keharmonisan yang tak
pantas dipilah. Suatu pengungkapan hidup yang penuh simbol dan tanda yang
maknanya lebih kental dari darah.
Sejarah
pernah bercerita bahwa leluhur Minahasa begitu intim dengan alam. Antara lain
terbukti pada pemilihan walian (pemimpin keagamaan). Seorang walian haruslah
seorang yang dekat dengan alam, karena dia harus cepat menangkap gejala-gejala
alam untuk mengatasi persoalan-persoalan yang ada di wilayahnya. Sang mananalinga
harus peka dan punya daya tafsir terhadap pesan-pesan yang dibawah manguni,
ular ataupun tikus, yang dipercaya sebagai perantara Penghuni Kasendukan.
Sejarah
pernah bercerita bahwa orang yang diangkat menjadi pemimpin para leluhur harus
punya keter (kekuatan). Pemimpin-pemimpin Minahasa tidak boleh sewenang-wenang
menggunakan kekuasaannya, karena dia bisa menerima sanksi dari Opo atau semacam
sanksi ilahi. Ia akan menjadi weles: kehilangan kekuatan. Ia akan mendapat nama
jelek dan dikucilkan dari masyarakat.
Sejarah
pernah bercerita bahwa A. F. van Spreeuwenberg sewaktu meneliti sosiokultur
Minahasa tahun 1842 membuat kesimpulan bahwa orang Minahasa mempunyai watak
keras/ pemberang, kritis, hati-hati, tidak cepat terpengaruh, kadang-kadang
terkesan acuh. Tetapi begitu mereka menentukan sikap, maka mereka konsekuen
dengan itu. Dua ratus tahun sebelumnya, Pastor Palomino pernah tiba pada
simpulan yang sama, di samping karakteristik lain yang pernah ditemuinya, yakni
karakter orang minahasa yang suka bertukar pikiran dan terbuka menerima
masukan.
Sejarah
pernah bercerita bahwa selama satu setengah abad dalam era
perjanjian-perjanjian antara Belanda dan Minahasa yang terjadi sampai tiga
kali, Kompeni/ Belanda gagal mengusai Minahasa sepenuhnya. Hal-hal yang
ditonjolkan dalam pelbagai laporan sepanjang masa tersebut antara lain:
Pertikaian tuntas setelah diselesaikan dengan sumpah adat; Kegagalan maupun
kesukaran yang dialami oleh pejabat-pejabat Belanda karena pengaruh wibawa para
kepala Walak serta Pakasaan yang secara konsekuen taat pada keputusan-keputusan
Dewan Wali [1]. Semua itu terlaksana dalam ikatan batiniah mendalam, dalam
sumpah adat yang begitu keramat dan sakti bagi semua. Mereka yang bhineka itu
terikat dalam semangat esa ene : kebersehatian, keseia-sekataan, loyalitas dan
solidaritas.
Sejarah
pernah bercerita bahwa para leluhur pun pernah salah, saat martabat kaum
Pasiowan-teluh diperkosa, saat mereka dipandang semata budak oleh kaum yang
sebenarnya hanya berbeda fungsi. Pertentangan terbuka jadi akibat. Para
pemimpin kehabisan daya, kaum panutan kehilangan wibawa. Untunglah, para
leluhur sadar juga bahwa diskriminasi sebenarnya tak boleh ada. Untuk
selesaikan sengketa, leluhur orang Minahasa duduk bersama, bermusyawarah
mencari sepakat. Guratan di Watu Pinawetengan u nuwuh adalah saksi bisu
sepenggal cerita erur (musyawarah) para leluhur itu.
Namun
apa yang terjadi kemudian justru mematenkan sebuah ironi. Para perantara
penghuni Kasendukan mulai terdegradasi dari dunia kehidupan. Beberapa jenis burung,
mamalia, reptilia dan ampibi Minahasa terdaftar dalam Red List of Threatened
Animals yang diterbitkan oleh World Conservation Union. Salah satu akar
penyebab mencuatnya ancaman kepunahan ini adalah rendahnya apresiasi masyarakat
terhadap kekayaan alam yang nampak dari perburuan dan perusakan habitat.
Penebangan
kayu di kawasan hutan tanah Minahasa pada umumnya yang tidak terkendali,
dimulai sejak akhir 1960-an yang dikenal dengan “banjir-kap” di mana orang
melakukan penebangan kayu secara manual. Penebangan hutan skala besar dimulai
pada 1970. Kemudian dilanjutkan dengan dikeluarkannya izin-izin pengusahaan
hutan tanaman industri di 1990, yang melakukan land clearing (tebang habis).
Selain itu, areal hutan juga dialihfungsikan menjadi kawasan perkebunan skala
besar yang juga melakukan pembabatan hutan secara menyeluruh, dan menjadi
kawasan transmigrasi.
Harian
Manado Post edisi 6 Maret 2007 mengungkapkan fakta tentang Pembabatan Hutan
Warembungan yang diduga dibeking oleh pihak BPN dan Kehutanan. Pada edisi 13
Maret 2007 harian ini kembali mengulas bahwa ‘’Kawasan Hutan Lindung Mahawu
diperjualbelikan’’. Edisi 15 Maret 2007 mengungkapkan ‘’30 ribu hektar hutan
Minahasa Kritis’’. Jadi sangatlah tragis
dan beralasan ketika kemudian manguni simbol Minahasa, yang dihormati para
leluhur sebagai utusan dari Kasendukan,
harus berbagi habitat dengan Tarsius Spectrum dalam sebuah suaka
margasatwa, menanti detik-detik kepunahan akibat kerakusan manusia.
Nilai-nilai
hidup yang diwariskan leluhur bagi kita sebenarnya merupakan kearifan yang
universal sifatnya. Harmonisnya relasi horizontal manusia-alam bukan tidak
fungsional lagi kini bukan? Lantas ke manakah perginya nilai keintiman orang
Minahasa dengan alam jika hutan tidak dijaga, satwa makin punah dan sampah
dimana-mana? Pertanyaan selanjutnya, ke mana perginya para pemimpin keter yang
tidak sewenang-wenang ketika pejabat yang seharusnya jadi panutan justru
ramai-ramai berkorupsi? Ke mana perginya orang Minahasa yang terkenal kritis
dan hati-hati ketika uang dan kekuasaan bisa dibarter dengannya? Ke mana
perginya nilai musyawarah-mufakat ketika erur
tak lagi bermakna dan peda jadi cara selesaikan perkara? Ke mana
perginya kesakralan sumpah adat ketika batas tawaang dipindah seenaknya dan
saudara sedarah saling bunuh karena warisan? Ke mana perginya egalitas ketika
diskriminasi merajalela? Ke mana perginya loyalitas dan solidaritas ketika mapalus jadi tak penting dan individualisme
makin kronis? Mungkinkah yang hilang dari Minahasa adalah “kesaktian” seperangkat tatakrama dalam Posan Pahasiwoan :
aturan-aturan hidup, yang walaupun sederhana tetapi tak ternilai dan sangat
berkarakter? Dan jika peradaban hakikatnya adalah capaian nilai, lantas
bergerak ke arah manakah peradaban
Minahasa?
Menurut
Toynbee, kelahiran sebuah peradaban tidak berakar pada faktor ras atau
lingkungan geografis, tetapi bergantung pada dua kombinasi kondisi, yaitu
adanya minoritas kreatif dan lingkungan yang sesuai. Lingkungan sesuai ini
tidak sangat menguntungkan juga tidak sangat tidak menguntungkan. Mekanisme
kelahiran sebuah peradaban berdasarkan kondisi-kondisi ini terformulasi dalam
proses saling mempengaruhi dari tantangan dan tanggapan. Lingkungan menantang
masyarakat dan masyarakat melalui minoritas kreatifnya menanggapi dengan sukses
tantangan itu. Solusi yang diberikan minoritas kreatif ini kemudian diikuti
oleh mayoritas. Proses ini disebut mimesis. Tantangan baru kemudian muncul,
diikuti oleh tanggapan yang sukses kembali. Proses ini terus berjalan.
Masyarakat berada dalam proses bergerak terus dan gerak tertentu membawanya
kepada tingkat peradaban. Bentuk tantangan atau rangsangan lingkungan yang
melahirkan peradaban ini antara lain: negeri yang ganas, tanah baru (karena
migrasi misalnya), serangan (karena perang misalnya), tekanan (karena kompetisi
antar masyarakat misalnya), hukuman (hukuman sosial misalnya).
Dengan
demikian, peradaban adalah objektifikasi kemauan dan kemampuan sebuah
masyarakat dalam konteks ruang dan waktu. Peradaban yang sesungguhnya adalah
peradaban yang menghasilkan capaian-capaian. Dari definisi dan ukuran peradaban
itu dapat kita pahami hal-hal berikut.
(1) Peradaban adalah produk sebuah masyarakat. (2) Peradaban memiliki
konteks ruang dan waktu. Ada proses kesejarahannya. (3) Peradaban dinilai dari
capaiannya. Sehingga menggerakkan kembali sebuah peradaban tidak dapat
dilakukan hanya sekedar menumpuk-numpuk capaian (produk) peradaban lain.
Peradaban adalah sumber, sedangkan produk adalah hasil dari sumber itu, bukan
kebalikannya.
Peradaban
yang jatuh kemudian hancur adalah kenyataan sejarah. Tetapi kejatuhan atau
kehancuran peradaban bukanlah keniscayaan kosmik atau karena faktor geografis
atau karena degenerasi rasial atau karena penyerbuan dari luar. Juga bukan
karena kemunduran teknik dan teknologi. Karena kemunduran peradaban adalah
sebab, sedang kemunduran teknik adalah konsekuensi atau gejala.
Toynbee
menegaskan: “Civilizations die from suicide, not by murder”. Peradaban runtuh
karena bunuh diri (sosial), bukan karena pembunuhan (sosial). Dalam
formulasinya, keruntuhan peradaban berasal dari tiga hal; kegagalan usaha
kreatif para minoritas, penarikan mimesis dari mayoritas dan hilangnya kesatuan
sosial. Kemunduran peradaban melewati fase-fase berikut; kejatuhan,
distintegrasi dan hancur. Kejatuhan dan disintegrasi bisa berabad-abad, bahkan
ribuan tahun. Toynbee memberi contoh, peradaban Mesir mulai jatuh pada abad
ke-16 SM dan hancur pada abad ke-5 M. Selang dua ribu tahun antara awal jatuh
dan kehancurannya adalah masa kehidupan yang membatu.
Pada
masa pertumbuhan minoritas kreatif memberi respon yang sukses terhadap
tantangan yang muncul, pada periode disintegrasi, mereka gagal. Pada masa
kejatuhan, minoritas kreatif mulai teracuni kemenangan, kemudian memberhalakan
nilai-nilai relatif atas nilai-nilai absolut, kehilangan karisma yang membuat
mayoritas mengikuti mereka. Pada masa disintegrasi, minoritas ini kemudian
bergantung pada kekuatan untuk mengatur masyarakat. Mereka berubah dari
minoritas kreatif menjadi minoritas penguasa. Massa berubah menjadi
proletariat.
Untuk
menjaga kelangsungan hidup peradaban, dikembangkanlah negara universal, semisal
Kekaisaran Roma. Sebagian masyarakat, mereka yang ada dalam subordinasi
minoritas dalam tubuh peradaban (Toynbee menyebutnya internal proletariat)
mulai meninggalkan minoritas ini, tidak puas, kemudian membentuk gereja
universal (misal kristianitas dan budhisme). Mereka yang berada di luar
peradaban pada kondisi kemiskinan, kekacauan (Toynbee menyebutnya external
proletariat) mengorganisasikan diri untuk menyerang peradaban yang mulai
runtuh. Skisma menimpa jiwa dan tubuh peradaban. Peperangan kemudian berkobar.
Pada jiwa peradaban, skisma ini mengubah mentalitas dan prilaku anggotanya.
Pada puncaknya jika naluri mengendalikan diri manusia, secara sosial sebuah
peradaban sudah mulai meluncur menuju keruntuhan.
Singkatnya,
beginilah keruntuhan peradaban bermula: ketika naluri, insting mulai
mengendalikan diri manusia. Kemudian rusakklah jaringan sosial masyarakat.
Dengan kerusakan jaringan sosial ini,
ide, pribadi dan benda menjadi tidak efektif, sehingga dinamika sosial
menjadi berhenti, pencapaian menjadi mandul. Kerusakan kemudian menyentuh
faktor-faktor ini. Muncullah ide-ide yang beku dan mati bahkan mematikan.
Muncullah penyembahan atas orang/pribadi. Muncullah ideologi bendaisme: segala
sesuatu diukur secara bendawi dan menumpuk-numpuk benda sebagai parameter
kehidupan.
Demikianlah,
keresahan akan rentetan perubahan yang dialami bangsa Minahasa di era
modernisasi/ globalisasi ini bukanlah tanpa alasan. Ancaman hilangnya identitas
sebagai sebuah “bangsa besar” menjadi
salah satu konsekuensi kausal yang bisa terprediksi. Namun ancaman terhadap
eksistensi peradaban Minahasa pertama-tama bukanlah karena globalisasi,
amerikanisasi, chinanisasi ataupun indianisasi, melainkan terletak pada
kesiapan mental dan sikap Tou Minahasa merespons tantangan, termasuk tantangan
modernisasi/ globalisasi. Rasionalisme tanpa nilai-nilai spiritual, ditambah
Individualisme dan konsumerisme yang semakin kronis merupakan akar matinya
sebuah peradaban. Jika terjebak dengan itu, Minahasa barangkali akan senasib
dengan kekaisaran Romawi.
Sebenarnya
bangsa Minahasa punya penangkal untuk penyakit kronik yang bernama “keruntuhan
peradaban”. Transformasi kultural dan revitalisasi kearifan lokal nampaknya
menjadi suatu kemutlakan, agar kita tidak akan menyaksikan “Armagedon Minahasa”
: manakala semuanya sudah terlambat, pekik sang manguni terakhir akan semakin
keras. Ia membawa pesan dari Kasendukan,
sebuah ratapan yang tafsirannya adalah “Minahasa sudah mati”.
Bahan
Bacaan:
Friedman, Thomas L. 2009.
Hot, Flat, and Crowded. Jakarta: PT Gramedia
Lauer, Robert H. 2001.
Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta
Mamengko Roy E. (edt). 2002.
Etnik Minahasa dalam Akselerasi Perubahan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Palar, H.B. 2009. Wajah Lama
Minahasa. Jakarta: Yayasan Gibbon Indonesia
-----------------------.
Wajah Baru Minahasa. Jakarta: Yayasan Gibbon Indonesia
Ritzer, George dan Douglas J.
Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana
--------------------------------------------------------.
2008. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Saruan, Josef Manuel. 1991.
“Opo” dan Allah Bapa. Jakarta
------------------------------.
2003. Agama dan Kebudayaan dalam Konteks Minahasa. Tomohon: Unit Percetakan
Sinode GMIM
Sztompka, Piotr. 2008.
Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada
[1] Dewan Wali
Pakasaan merupakan lembaga tertinggi yang mempunyai kewenangan baik ke dalam
menyangkut keamanan dan ketentraman seluruh rakyat, kewenangan mengatur semua
hubungan ke luar, termasuk menentukan sikap menerima atau menolak suatu usul
atau unsur dari luar. Jika suatu usul atau unsur tertentu diterima, kesepakatan
tersebut akan diterapkan kepada seluruh rakyat .
0 comments:
Post a Comment